Wednesday 23 August 2017

Artikel 4 : Pengangguran

Jurnal Economia, Volume 1 Nomor 1, Agustus 2005
DAFTAR ISI
ISSN: 1858-2648
ii
iii
1-16 17-28
V
29-40
V
Dewan Redaksi -------------------------------------------------------------------------
Pengantar Redaksi ---------------------------------------------------------------------
Datta r Isi ---------------------------------------------------------------------------------
1. Upaya Mengatasi pengangguran di Indonesia
Oleh: Sri Hermunlngsih m m m m __ mm _
2. Peran Kewlrausahaan dalam Mengatasi pengangguran di Indonesia oleh: Sukidjo -----------------------------------------------------------------------
3. pengangguran di Indonesia Permasalahan dan Strategi Mengatasinya
Oleh: Endang Mulyani ------------------------------------------------------------
4. Keterkaitan pengangguran dan Pendidikan: Potensi Sumber Daya dan Masalah
.Oleh: Eko Giyartlnlngrum dan Aula Ahmad Hafldh m 41-53 V
5. Peran Sektor Informal dalam Menanggulangl Masalah pengangguran dl Indonesia
Oleh: Daru Wahyunl --------------------------------------------------------------- 54-64
6. Pengembangan Agro Industrl: Suatu Alternatlf Pembangunan Pertanlan Untuk Mengatasl Pengangguran
Oleh: Suwarno ---------------------------------------------------------------------- 65-69
7. Usaha Keell dan Menengah (UKM) dan Upaya Mengatasl pengangguran
Oleh: Teguh Sihono m mmm 70-85
Blodata Penulls
Pedoman Penullsan
III
v
v
J
· Jurnal Economia, Volume I Nomor I, Agustus 2005
PERAN SEKTORINFORMAL DAlAM MENANGGUlANGI MASALAH PENGANGGURAN
DIINDONESIA
Oleh: Daru Wahyuni
(Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta)
Abstract
Unemployment has been the most crucial economic problem in Indonesia. The efforts.to implement the strategic policy/or economic development supporting the growth of formal sectors have failed to solve this problem. The mechanism of trickle down effect expected from this policyis futile. Therefore, most of manpower that is not accommodated in formal sectors shifts to work at small-scale industries in informal sectors. This effort has overcome unemployment temporarily. Howevel; since the economic crisis stroke Indonesia, the rate of unemployment has been boosted. There are many workers or employees who get the impactofthis ecomoniccrisis strike. Million of them have lost their jobs. They must leave the formal sectors and go into the informal ones. Once again informal sectors becomes safety belt for economic threat called unemployment. Keywords: unemployment, informal sector, formal sector
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan
jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia. Pada tahun 1990 jumlah penduduk
Indonesia mencapai 179 jutajiwa. Sepuluh
tahun berikutnya jumlah tersebut telah
meningkat menjadi 205 juta jiwa. Dengan
demikian pertambahan jumlah penduduk
selama dasawarsa ini mencapai sekitar 15%
atau tumbuh dengan rata-rata 2% per tahun.
Di satu sisi, jumlah penduduk yang besar
diyakini merupakan modal dasar dalam mencapai tujuan pembangunan nasional,
namun di sisi lain, dengan pengelolaan yang
tidak tepat, jumlah penduduk yang besar
sekaligus akan menimbulkan mC\salah
54
kependudukan yang sangat krusial terutama
di bidang ketenagakerjaan.
Jumlah penduduk yang besar dengan
laju pertumbuhan yang relatif tinggi inipun,
masih ditambah pula dengan struktur
penduduk berusia muda pada dua sampai
satu dasawarsa yang lalu. Bisa ditebak,
dekade berikutnya Indonesia akan
menghadapi ledakan angkatan kerja baru
yang tentu saja membutuhkan lapangan kerja baru pula. Menggunakan kriteria
Badan Pusat Statistik, pada tahun 2001
angkatan kerja Indonesia berjumlah 98,8 juta orang atau sekitar 68,8% dari seluruh
penduduk Indonesia. Dari angka terse but
sebesar 8,01 juta jiwa (8,10%)
Peran Sektor Informal dalam Menanggulangi Masalah Pengangguran ... --- Daru Wahyuni
(menganggur). Lebih dari itu, menu rut Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi" (Depnakertrans),
bahkan pada tahun 1993 jumlah
penganggur di Indonesia, telah mencapai 11,35 juta orang dan didominasi oleh
penganggur usia muda (Tempo Interaktif,
2004). Angka pengangguran di Indonesia
sejak tahun 1997-2001 memang menunjukkan angka yang semakin
meningkat. Jika pada tahun 1997 angka
pengangguran, baru mencapai 4,68%; tahun 1998 mencapai 5,46%; tahun 1999
mencapai 6,36% dan tahun 2002 mencapai
6,08% (tidak termasuk provinsl Maluku), maka pada tahun 2001 telah mencapai
angka 8,01% seperti terse but di atas. Sebuah angka yang mencengangkan yang
mestinya perlu segera dlupayakan
pemecahannya.
B. Kebijakan Pembangunan Ekonomi Indonesia : Harapan
dan Kenyataan
Menilik tingginya angka pengangguran
di Indonesia, menjadi menarlk untuk
mempertanyakan kembali mengenai
kebijakan apa yang telah dan akternatif
kebijakan apa yang akan dilakukan
pemerintah Indonesia untuk mengatasinya.
Sejarah rangkaian kebijakan pembangunan
ekonomi yang dilaksanakan di Indonesia,
pada dasarnya memang dimaksudkan
untuk mencapai berbagai tujuan seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat harga yang rendah dan stabil, distribusi
pendapatan yang adil dan tentu saja
tingkat kesempatan kerja yang tinggi (Ace
Partadiredja, 1993 : 17). Sayang sekali
pada era pemerintahan Soekarno yang
kental dengan ekonomi terpimpinnya (Hill,
1996 : 2), perekonomian Indonesia justru dilanda hyperinflation yang membuat
perekonomian Indonesia terpuruk. Kebijakan sanering mata uang rupiah
menjadi puncak penderitaan rakyat hingga
menimbulkan gelombang protes keras yang memicu runtuhnya kepemimpinan Presiden
Soekarno. Setelah rezim Soekarno jatuh,
muncul rezim yang berlabel "Orde Saru".
Selama orde ini, Indonesia dibawa pada
pembangunan ekonomi yang cenderung
berorlentasl kapitalisme. Para pengambil
keputusan kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia, mempraktekkan
mentah-mentah teori-teori pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi yang terbukti
sukses di negara asalnya, untuk
menetapkan keb~akan yang mempengaruhf kinerja perekonomian Indonesia.
Paradigma Rostow mengenai 5 tahap
pembangunan ekonomi, diadopsi
pemerintah Indonesia melalui program
Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dan
Program Pemba.ngunan Jangka Panjang (PJP). Dengan program ini pemerintah
berharap tujuan pembangunan ekonomi
Indonesia akan tercapai melalui setiap
langkah tahapan yang terlampaui. Akan
tetapi gaung bahwa Indonesia akan segera
mencapai era lepas landas yang sempat
nyaring dikemukakan pemerintah pada
tahun 90-an tidak juga segera terbukti.
55
Jurnal Econom;a, Volume 1 Nomor 1, Agustus 2005
Dewasa ini bahkan "Iagu merdu" tersebut
tidak pernah terdengar lagi. Sementara itu semangat mendorong
investasi untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, diadopsi dari model
pertumbuhan ekonomi Harrord-Domar. Menurut teori ini penanaman investasi,
sebelumnya harus didahului dengan
penggalangan dana yang berasal dari tabungan domestik. Kenyataan di Indonesia,
jumlah tabungan dalam negeri yang mencukupi untuk mendukung upaya
investasi ternyata sulit terpenuhi. Masalah saving-investment gap ini selanjutnya
dipecahkan pemerintah Indonesia dengan cara membuka lebar-Iebar keran aliran
modal asing ke Indonesia, baik berupa Foreign Direct Investment, bantuan luar
negeri dan utang luar negeri. Pada
gilirannya, kebijakan ini ternyata memang
mampu membawa perekonomian Indonesia tumbuh dengan angka yang
mencengangkan. Keberhasilan
pembangunan ekonomi y~ng dicapai, diharapkan akan mengimbas secara positif terhadap peningkatan kesejahteraan
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sayangnya mekanisme trickle down effect
yang diharapkan, tidak juga kunjung
datang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang tinggi ternyata tidak disertai dengan
pemerataan di segala bidang, khususnya
pemerataan pendapatan dan kesempatan
kerja. Hal ini disebabkan karena sektor formal modern yang merupakan sasaran
kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia
ternyata tidak mampu muncul sebagai
56
penyedia lapangan kerja baru bagi angkatan
kerja baru karena meskipun memiliki
margin keuntungan yang besar, tetapi
kurang mampu menyerap tenaga kerja akibat sifat produksinya yang lebih capital intensive. Kebijakan pemerintah yang
cenderung bias ke arah perusahaan
perusahaan besar di sektor modern ini
menjadi seolah-olah tidak berarti. Apa
artinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bila tidak disertai pemerataan hasil-hasil
pembangunan yang dicapai. Saat badai krisis ekonomi melanda
Indonesia, pertumbuhan ekonomi tinggi
yang pernah dicapai menjadi seolah-olah semakin tidak berarti lagi. Perusahaan
perusahaan besar yang semula dianggap
sebagai lokomotif penggerak
perekonomian Indonesia satu demi satu
runtuh. Kegiatan produk5i yang ditopang
oleh penanaman modal asing dan utang
luar negeri, memunculkan ekonomi biaya
tinggi karena melemahnya nilai tukar
Rupiah sampai titik yang paling rendah. Jumlah penganggur di Indonesia semakin besar karena gelombang pemutusan
hubungan kerja (PHK) akibat krisis yang melanda Indonesia menjadi tidak bisa
dielakkan. Akibatnya, ketika sektor formal
tidak lagi bisa diandalkan oleh para tenaga
kerja Indonesia, maka sektor informal
menjadi "pelarian" paling mudah untuk
pemecahannya. Barangkali sektor ini
memang tidaklah memberikan perbaikan secara berarti terhadap taraf hidup para
pekerjanya karena hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten (Chatib M.
Peran Sektor Informal dalam Menanggulangi Masalah Pengangguran ... --- Daru Wahyuni
Basri, 2002). Meskipun demikian,
sepanjang sektor formal-modern tetap
belum mampu mengatasi rendahnya
kesempatankerja maka tidak ada solusi lain
yang lebih mudah selain dari mencoba mengadu nasib di sektor informal. Sektor
informal yang sejak dahulu telah menjadi
alternatif pilihan pekerjaan bagi banyak
angkatan kerja Indonesia, ketika lokomotif sektor formal tidak mampu mengangkut
mereka, semakin diandalkan oleh anggota
barisan penganggur, termasuk penganggur baru akibat PHKsebagai pilihan lapangan
kerja satu-satunya yang bisa mereka
harapkan.
C. Konsep Dualistik : Sektor Formal dan Informal.
Menggagas konsep dualistik, tidak bisa
tidak, perlu kembali menelaah masalah
dualisme ekonomi di Indonesia yang dikemukakan oleh Boeke. Menurut Boeke .
(1982: 2) masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa sebelum perang Dunia I,
terbagi dua menjadi masyarakat kapitalis
dan masyarakat pre-kapitalis. Masyarakat
kapitalis yang maju hidup berdampingan
dengan masyarakat pre-kapitalis yang tertinggal (underdeveloped). Karena ciri
khas masing-masing kelompok, sekat yang
memisahkan keduanya· tetap nyata,
meskipun kehidupan kedua kelompok ini
terus berjalan bersama-sama.
Terminologi dualistik ala Boeke,
tampaknya masih bisa berlaku untuk
memahami paradoks modernisasi di
Indonesia. Modernisasi yang identik dengan
kemajuan, pada kenyataannya masih meninggalkan sisa-sisa ketradisionalan.
Tidak kurang kebijakan pembangunan
Tabel 1. Perbandingan Karekteristik Usaha Sektor Formal dan Informal
Karakteristik
Sektor Formal Sektor Informal
Modal
Relatif mudah diperoleh Sukar diperoleh
Teknoloqi
Padat modal Padat karya
Organisasi
birokrasi Mempunyai organisasi
keluargaKredit
Dari lembaga keuangan resmi Dari lembaga
keuanqan tidak resmiSerikat buruh
Sangat berperan , Tidak berperan
Bantuan
pemerintah
Penting untuk kelangsungan usaha Tidak ada
Hubungan
dengan
One way traffic untuk kepentingan sektor Saling
desa
formal menquntunqkan
Sifat
wiraswasta
Sangat tergantung dari pcrlindungan Berdiri di atas kaki
pemerintah
atau
import
sendiri
Persediaan
barang
Jumlah besar dan berkualitas baik Jumlah kecil dan
kualitas berubahHubungan kerja
Berdasarkan kontrak kerjaBerdasarkan asas
maiikan
salinq kepercavaan
57
Jurnal Ecollomia, Volume I Nomor 1, Agustus 2005
ekonomi Indonesia yang bias ke arah sektor
formal modern sekalipun, tidak mengurangi
kelenturan sektor informal menghadapi
setiap masalah bahkan saat krisis melanda
Indonesia, sehingga keberadaanny~ tetap
diakui tanpa bisa dibantah~ Sektor informal
dengan nuansa ke-tradisional-annya mampu
hidup berdampingan dengan sektor formal
dengan nuansa ke-modern-annya. Meskipun keduanya tidak benar-benar bisa dipisahkan,
tetapi kata formal di satu sisi dan informal
di sisi yang lain telah menegaskan adanya
dua entitas yang hidup berdampingan. Bicara mengenai dua entitas yang hidup
berdampingan ini, rasanya perlu dibicarakan
kembali apa perbedaan di antara keduanya sehingga sekat yang memisahkan dua
kelompok ini masih tetap tampak nyata.
Dengan menggunakan kriteria yang
dikemukakan oleh Hidayat (1978: 427)
perbandingan antara karakteristik kegiatan
usaha di sektor formal dan informal dapat
dilihat pada Tabel1.
Melihat perbandingan karakteristik
sektor formal dan informal seperti terse but
di atas, dapat dimengerti bahwa sektor
informal dengan segala kesederhanaannya,
pada masa sulit dalam beberapa tahun
terakhir ini telah mampu menjadi katup
pengaman perekonomian Indonesia. Mereka
yang gagal mendapatkan pekerjaan di
sektor formal akan memiliki peluang kerja
yang relatif besar di sektor informal, karena sektor ini memang relatif lebih mudah
dijangkau dibanding sektor formal.
58
D. Peluang Kesempatan Kerja di Sektor Informal di Indonesia.
Beberapa penelitian mengenai sektor
informal, menunjukkan bahwa daya serap
tenaga kerja di sektor ini cukup signifikan.
Bahkan di beberapa negara, daya serap
sektor informal justru melebihi sektor
formal. Menurut Hernando de Soto, di
ibukota Peru, misalnya, ditemukan paling
tidak 60% penduduknya bekerja di sektor
ini (Dikutip olah Arief Rahman Hakim, 2004:
22). Sementara itu penelitian yang dilakukan ILO di kota-kota besar di Asia menemukan
bahwa lebih dari 50% angkatan kerja kota menggantungkan hidupnya pada sektor
informal. Hal serupa terjadi pula di Indonesia. Di kota-kota besar di Indonesia
daya serap sektor ini rata-rata mencapai
40% dari angkatan kerja yang ada. 1ingginya
daya serap tenaga kerja di sektor informal
selain karena banyaknya pekerja yang
menginginkan (baik secara sukarela maupun
terpaksa) masuk ke sektor informal, juga karena karakteristik sektor itu sendiri. Para
pekerja sektor informal pada umumnya tidak perlu memenuhi tuntutan tertentu terkait
dengan tingkat pendidikan atau keahlian
mereka seperti halnya di sektor formal.
Secara lengkap daya serap tenaga kerja
sektor informal di beberapa kota besar di
Indonesia dapat dicermati pada Tabel 2. Unit-unit usaha sektor informal di kota
kota besar pada umumnya terkonsentrasi
di sektor perdagangan dan sektor pelayanan
jasa bagi masyarakatkota. Kegiatan yang mereka lakukan, mulai dari menjadi
pedagang asongan, pedagang kaki lima,
Peran Sektor Infonnal dalam Menanggulangi Masalah Pengangguran ... --- Daru Wahyuni
Tabel2. ProporsiPekerjaSektor Informal di BeberapaKota Besardi Indonesia
Kota
Jumlah PekerjaSektor Informal
(dalam %)Jakarta
37,1
Surabaya
34,9
Semarang
35,7
Bandung
31,9
Yogyakarta
43,4
Surakarta
40,9
Palembang
55,6
Medan
41,2
Ujung
Pandang
45,1
Bandar Lampung
48,2
Padang
43,7
Samarinda
52,3
Manado
403
Sumber: SUSENAS1993
tukang parkir, tukang becak sampai buruh besar semacam ini. Sayang sekali seringkali
gendongan bersifat melengkapi kegiatan para pekerja sektor informal inilah yang sektor formal. Unit usaha kecil pekerja pertama kali harus terpinggirkan manakala sektor informaldi kota, bagaimanapun tidak kota merasa perlu berbenah diri atas nama bisadiingkari telah turut serta meramaikan modernisasi.
dinamika kehidupan masyarakat kota. Seperti telah dikemukakan di atas, sektor
Sebagaicontoh, apabila jam makan siang informal telah mampu menjadi katup tiba, maka akan tampak pegawai-pegawai pengaman saat perekonomian nasional
perlenteyang berjalan keluar dari kantornya dilanda krisis. Angkatan kerja yang belum yang megah untuk sekedar menikmati juga tertampung di sektor formal ditambah
makan siang mereka di warung-warung penganggur-penganggur baru korban PHK,
makan kedl di sekitar tempatnya bekerja. sebagian besar memilih menggantungkan Para pegawai dari sektor formal akan kehidupannya di sektor informal. Bukan
mendapatkanmakanan dengan harga yang hanya mereka yang tergusur, para pekerja relatif murah, sedangkan penjual yang kelas menengah dan bahkan kaum selebritis berasal dari sektor informal akan. pun tidak segan-segan mengadu nasib
memperoleh penghasilan untuk memenuhi dengan membuka bisnis atau usaha yang . dapat digolongkan ke dalam sektor informal. kebutuhan hldupnya. Sungguh sebuah Ak'b t k ' , kt' fit b h b k I a rlSIS,se or In orma um u a sinergi yang manis, dan tentu saja masih cendawan di musim penghujan. Fenomena banyak sinergi-sinergi lainnya yang'dapat kafe tenda seperti yang terjadi di Jakarta dijumpai dalam konteks interaksi antara dan beberapa kota besar lainnya beberapa sektor formal dan informal di kota-kota saat setelah krisis serta munculnya banyak
59
Jurnal Economia, Volume 1 Nomor 1, Agustus 2005
pasar atau warung PHK di kota-kota lain karena para pelaku atau pemiliknya
merupakan korban-korban pemutusan hubungan kerja, semakin menegaskan eksistensi sektor informal di masa krisis tersebut.
Catatan Badan Pusat Statistik juga
menegaskan hal serupa. Jumlah pekerja di sektor informal pada tahun 1998 mengalami
peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal tersebut dapat dicermati dari Tabel 3.
informal yang mampu menyerap tenaga
kerja baik sebelum krisis maupun setelah
krisis paling tidak telah berhasil mencegah
terjadinya ancaman ekonomi makro berupa
pengangguran. Dengan demikian tidak
terlalu berlebihan apabila sektor informal sering disebut sebagai penyelamat (safety
belt) bagi perekonomian nasional. Mengingat
perannya yang relatif penting ini, maka perlu
diupayakan satu kebijakan yang lebih
mampu menyentuh kepentingan sektor ini.
Tabel 3. Pekerja Menurut Status Pekerjaan Tahun 1997 dan 1998
Status Pekerjaan 1997 (%)1998 (%)
Formal
35,431,7
Informal
64,668,3
Total
%
100100
N
(Juta)
82,568,3
Sumber : Susenas 1997 dan 1998
Dari tabel di atas tampak bahwa proporsi
pekerja yang memasuki sektor informal meningkat dari sekitar 65 % pada tahun 1997 (mulai krisis) dan menjadi sekitar 69 % pada tahun 1998 (selama krisis
berlangsung). Sementara itu, pangsa sektor informal dalam kesempatan kerja dapat
dilihat pada Tabel 4.
Pergeseran tenaga kerja dari sektor
formal menuju sektor informal, barangkali.
bisa digunakan untuk mengindikasikan telah
terjadinya penurunan kesejahteraan
masyarakat, meskipun tidak sedikit pula di
antara pekerja sektor informal yang cukup
sukses dalam menekuni usahanya.
Meskipun demikian keberadaan sektor
60
E. Upaya pemberdayaan Sektor Informal: Sebuah Catatan Akhir
Selama ini, kebijakan pembangunan
ekonomi di Indonesia cenderung lebih
berpihak kepada perusahaan-perusahaan
besar di sektor modern. Masih sedikit upaya
upaya yang telah dilakukan pemerintah
untuk mendukung kepentingan unit-unit usaha kecil di sektor informal. Padahal
sektor ini terbukti memiliki daya tahan (endurance) yang luar biasa dalam
menghadapi kondisi perekonomian seperti
apapun, bahkan pada sa at kritis
multidimensional yang parah sedang
menimpa Indonesia. Sumber dayaekonomi
Peran Sektor Infonnal dalam Menanggulangi Masalah Pengangguran ... --- Daru Wahyuni
Tabel.4. pangsa Pekerjaan di Sektor Informal
19971998
laki-Iaki
62,865,4
Perempuan
53,361,6
Perkotaan
70,271,5
Pedesaan
42,845,7
Total
73.375.8
Sumber : SAKERNAS 1998
yang ala kadarnya dan sedikit sekali menerima fasilitas dari pemerintah (bahkan
seringkali tempat kegiatan usahanya dirazia,
dibongkar dan digusur) justeru membentuk sektor informal tumbuh menjadi sub
ekonomi yang tangguh dan tahan banting. Unit-unit usaha sektor informal yang tidak
tergantung pada modal luar negeri,
membuat sektor ini tidak perlu dipusingkan oleh fluktuasi nilai tukar mata uang rupiah,
termasuk saat nilai tukar rupiah turun sampai
titik yang sangat rendah. Tak heran bila
sektor informal (termasuk unit usaha kecil
dan menengah) hampir tidak terusik saat krisis ekonomi melanda Indonesia.
Dengan sekadar memperhatikan rasional
rasional ekonomis, barangkali bisa diterima
apabila sektor informal cenderung dianaktirikan oleh pemerintah dibandingkan sektor formal. Barang dan jasa produksi
sektor informal dan rumah tangga pada
umumnya tidak didistribusikan melalui pasar (underground economies). Tentu saja,
karena tidak melalui pasar, maka aktivitas
aktivitas pelaku sektor informal tidak akan tercatat dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Belum lagi dilihat dari value added yang
dihasilkan. Unit-unit usaha kecil sektor
informal, meskipun umumnya padat tenaga kerja, namun memberikan nilai tambah
ekonomi yang kecil. Berbeda dengan di
sektor formal yang padat modal, perusahaan-perusahaan besar pada
umumnya juga memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar. Dengan demikian,
menggunakan penghitungan model apapun, sektor formal akan memberikan kontribusi
yang besar pada PDB.Kecilnya atau bahkan ketertidakukuran kontribusi sektor informal
dalam membentuk PDBinilah yang membuat
sektor informal sering dipandang sebelah
mata. Selain itu, karena nilai tambah sektor
informal jauh lebih kecil dibanding nilai
tambah sektor formal, maka dilihat dari
kemampuannya membayar pajak yang
merupakan salah satu sumber penghasilan
negara, juga tentu jauh lebih kedl
dibandingkan kemampuan sektor formal. Hal
inilahyang membuat sektor formal cenderung
"dimanjakan" oleh pemerintah.
Sekadar dari alasan ekonomis,
tampaknya memang tidak ada gunanya
membina sektor informal yang pertumbuhan skala usahanya relatif sangat lambat.
61
Jurnal Econonria, Volume I Nomor I, Agustus 2005
Namun tentu tidak bijaksana bila sekadar
dari alasan tersebut, kemudian pemerintah
mengabaikan kepentingan sektor informal mengingat sektor ini merupakan tempat
bergantung sebagian besar tenaga kerja
Indonesia yang rata-rata kondisi sosial
ekonominya masih lemah dan belum
berdaya.
Pemerintah memang masih belum optimal membina sektor informal. Hal ini diakui
sendiri oleh Jusuf Kalla yang saat itu masih
menjabat Menteri Koordinasi Kesejahteraan
Rakyat (Menkokesra). Lebih lanjut bahkan beliau menyatakan bahwa kalau pemerintah
telah optimal membangun sektor informal tentu Indonesia telah menjadi negara yang
makmur dan merata (Balairung, 2004 : 73).
Namun pemerintah terus berupaya meningkatkan kepedulian terhadap sektor
informal. Hal ini dibuktikan dengan
dibentuknya kementerian yang khusus
menangani masalah usaha kedl dan menengah.
Upaya memberdayakan sektor informal digariskan pemerintah berdasarkan
Kebijakan Pembangunan Ekonomi Nasional
yang tertuang dalam Garis-garis Besar
Haluan negara Tahun 1999 dan Rencana
Strategis Pembangunan Koperasi, Pengusaha Kecil Menengah (Menegkop dan
UKM, 2000 : 33). Strategi kebijakan
pemberdayaan UKM meliputi 1) Strategi
kebijakan sistem ekonomi kerakyatan, 2)
Strategi kebijakan penumbuhan iklim
berusaha yang kondusif, dan 3) Strategi
kebijakan dukungan penguatan bagi koperasi
dan UKM. Komitmen pemerintah untuk
62
meningkatkan kepedulian terhadap sektor
informal tentu saja sangat melegakan.
Namun upaya pemberdayaan sektor ini,
perlu dituangkan dalam langkah-Iangkah
nyata yang operasional. Jangan sampai
pemerintah terjebak pada rencana strategi
pemberdayaan yang tersusun rapi dan
ideal, tetapi sesungguhnya hanya sekedar
retorika semata. Dengan demikian niat baik
pemerintah merangkul dan memberdayakan sektor informal melalui kebijakan yang
dilakukan benar-benar mampu menjangkau
( baca: dijangkau) pelaku-pelaku sektor informal.
F. Kesimpulan Jumlah penduduk yang besar dengan laju
pertumbuhan yang tinggi merupakan
masalah klasik yang dihadapi Indonesia.
Masalah kependudukan ini pada gilirannya menimbulkan masalah lain di sektor
ketenagakerjaan. pengangguran dengan
angka yang relatif semakin tinggi dari tahun
ke tahun membutuhkan upaya pemecahan
yang tidak sederhana.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang
pernah dilaksanakan di Indonesia ternyata
tidak mampu berbuat banyak. Kebijakan
yang bias kepada perusahaan-perusahaan besar yang cenderung bersifat padat modal,
memang mampu membawa perekonomian
Indonesia tumbuh dengan angka yang
menggembirakan, namun mekanisme trickle
down effectdari kebijakan tersebut temyata
tidak segera muncul seperti yang
diharapkan. Perusahaan-perusahaan besar
sebagai lokomotif perekonomian nasional
Peran Sektor Informal dalam Menanggulangi Masalah Pengangguran ... --- Darn Wahyuni
tidak mampu menampung angkatan kerja
Indonesia yang ada. Antara para tenaga
kerja itu sendiri harus saling bersaing ketat, untuk bisa masuk ke sektor formal, karena sektor ini menuntut kualifikasi tertentu terkait
dengan kualitas pendidikan dan keahlian
tenaga kerja yang akan digunakannya.
Tentu kemudian ada yang harus tersisih.
Mereka yang tersisih ini, akan masuk ke
sektor yang bisa mereka jangkau yaitu sektor informal.
Sektor informal di Indonesia sejak lama
telah menjadi tumpuan harapan banyak
pekerja. Mereka memilih (baik dengan sukarela maupun terpaksa) masuk ke sektor informal karena karakteristik sektor ini relatif
lebih sederhana. Para pekerja sektor
informal tidak pernah dituntut harus memiliki
tingkat pendidikan dan keahlian tertentu,
asalk'an mereka memiliki semangat dan
ketekunan yang eukup besar untuk
menjalankan usahanya yang umumnya
berskala keeil. Dengan segala keterbatasan
yang dimiliki dan minimnya bantuan pemerintah yang bisa mereka akses, sektor
informal justru tumbuh menjadi sub kegiatan
ekonomi yang tangguh dan tahan banting. Hal ini terbukti bahwa pada saat krisis
ekonomi melanda Indonesia, sektor ini
nyaris tidak terpengaruh efek negatif krisis
tersebut. Mereka tetap eksis bahkan
semakin bertambah besar akibat masuknya
korban-korban PHK sektor formal yang di luar skenario justru terpuruk akibat krisis.
Baik se~elum krisis dan setelah krisis, sektor informal terbukti mampu menjadi safety belt bagi aneaman ekonomi makro
berupa tingkat pengangguran yang tinggi.
Oleh karena itu untuk memberdayakan
sektor ini agar keberadaannya menjadi lebih
berarti, uluran tangan pemerintah diperlukan
dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang bersifat nyata dan operasional.
Daftar Pustaka
Arief Rahman Hakim. (2004). "Meninjau Ulang Aspek Humanisme dalam Teori Ekonomi" .. Yogyakarta : Majalah BalairungEdisi 37. Tahun XVIII.
Chatib M. BasrL (2002). "Wajah Murung Ketenagakerjaan Kita" Jakarta: Kompas, 25 November 2002.
Didik J. Raehbini. (1991). "Dimensi Ekonomi dan Politik pada Sektor Informal". Jakarta: Prisma Nomor 3. 1991
Hidayat. (1978). Pengembangan Sektor Informal dalam Pengembangan Nasional: Masalah dan Prospek. Bandung : Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran.
Kantor Menegkop dan UKM.(2000). Rencana Strategi Pembangunan Koperas~ Pengusaha Kecil dan Menengah. Jakarta: Kantor Menegkop dan UKM.
63
Jurnal Economia, Volume I Nomor I, Agustus 2005
Hidayat. (1978). Pengembangan Sektor Informal dalam Pengembangan Nasional: Masalah dan Prospek. Bandung : Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran.
Kantor Menegkop dan UKM. (2000). Rencana Strategi Pembangunan Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah. Jakarta : Kantor Menegkop dan UKM.
Mubyarto (2004). Ilmu Ekonomi yang Kita Ajarkan Keliru. Yogyakarta : Majalah "Balairung" Edisi 37. Tahun XVIII.
Piet Fitriadi. (2004). "Mencari Rakyat dalam Ekonomi Kita : Sebuah Upaya mendobrak Adagium "Size Does Matter"" Yogyakarta : Majalah BalairungEdisi 37. Tahun XVIII.
Sethuraman, S.V. (1981). The Urban Informal Sedor in Developing Countries: Employment, Poverty and Enviroment Geneva : International Labor Office.

No comments:

Post a Comment